Setelah
album XOXO dan Repackaged-nya EXO dirilis dan saya dengarkan dengan seksama
berulang-ulang, makin lama saya menyukai suara Chen. Melalui beberapa reality
show, saya juga menyukai kepribadian Chen. Kalau boleh jujur, saya rasa saya
jatuh cinta pada Chen (tapi Luhan tetep jadi terfavorit). Hehehe. Nah, saat
sedang menjelajahi alam pikiran saya, akhirnya keluar sebuah imajinasi yang
mendorong saya untuk menulis fanfiction lagi. Fanfiction ini diilhami oleh Chen
dan rasa kagum saya kepada salah satu main vocalist EXO ini.
Writer: Myself
Main cast: Chen, Younha
Genre: Romance
“I prayed for
this moment with closed eyes| I will embrace you, my lover’s heart, slowly | Today
is the only chance, I’ll take the first step.
I know that I’m
so foolish | I’m not used to this, only knowing you| As I take the first step |
Follow me girl, please come closer.
I’ve fallen for
you deep within my heart | Only you are my everything, my heaven,” sepenggal
lirik sudah aku nyanyikan, kini saatnya aku menunggu. Hatiku berdebar-debar tak
karuan. Oh Tuhan, Engkau benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku
tahu Engkau mencintaiku, kalau tidak, aku yakin jantung ini akan meledak sedari
tadi dan pastinya aku sudah tak sadarkan diri saat ini.
Younha, seorang
gadis yang mampu memberi kepercayaan diriku untuk mencoba memberikan hati ini kepadanya. Dia juga merupakan salah seorang
teman kursus pianoku. Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali melihat jemari
indahnya menari-nari dengan lincah diatas tuts-tuts piano memainkan sebuah lagu
kesukaanku. Pada saat itu aku sudah yakin kalau Younha adalah jodohku. Hari
demi hari berlalu, kami pun semakin dekat dan akrab. Ada banyak hal yang
kuketahui tentang dia dan begitu pula sebaliknya. Kami berdua memiliki banyak
kemiripan dan selera kami pun juga sama. Aku pun semakin mantap dan percaya
bahwa dia adalah cinta sejatiku.
“Chen, kita
adalah sahabat dekat. Kamu mengenalku sebegitu dekat hingga tidak ada satu hal
pun yang aku sembunyikan darimu, begitu pula denganku. Aku sangat berterima
kasih atas semua kebaikan yang kamu berikan. Aku sangat menyayangimu…,” helaan
nafas panjangnya meyakinkan diriku akan kalimat yang akan diungkapkan
selanjutnya ,”... aku menyayangimu seperti saudaraku, Chen. Aku harap
berkataanku ini tidak akan mengubah hubungan kita untuk selanjutnya dan
selamanya.”
Oh God, kalaupun
aku bukan lelaki, mungkin aku sudah hancur lebur. Usapan tangannya lembut di
kedua belah tanganku tidak bisa mengobati remuknya hati ini. Aku kecewa. Sepertinya
Tuhan sangat memahami suasana hatiku saat ini ketika Ia menumpahkan seluruh air
kekecewaan di bumi pertiwi hari ini. Hujan turun dengan derasnya, langit pun
menghitam kelam.
Kalaupun hari
ini terlalu dingin untuk menyesap air dingin, aku tidak peduli. Entah sudah
berapa gelas bubble tea dingin yang sudah kuhabiskan. Selama lembaran uang di
kantongku tidak habis, aku tidak akan berhenti memesan bubble tea dingin kepada
pramusaji yang sedari tadi memandangku dengan kasihan. Air es cukup mampu
membuat hidungku memerah dan membuatku menjadi pilek. Ini alasan lain yang akan
kupilih untuk menyembunyikan tangisku, daripada harus berhujan-hujanan seperti
orang bodoh diluar sana, meskipun aku tahu tindakanku juga tak kalah bodoh.
Cinta memang bodoh, bukan? Atau aku satu-satunya orang bodoh didunia ini?
Beberapa orang
sepertinya sedang menikmati hujan hari ini. Mereka berjalan kesana kemari
bersama pasangannya berpayungan bersama. Ada apa pula dengan payung-payung
kuning, oranye, dan jingga itu. Cih, aku tidak suka warna cerah. Memuakkan.
“Permisi,
bisakah aku mendapatkan satu gelas bubble tea dingin lagi?” tanyaku pada
pramusaji yang lewat disampingku. Ia pun mengangguk dan mengatakan padaku bahwa
aku akan mendapatkannya segera. Menunggu bubble tea untuk sampai dimejaku juga
cukup memuakkan. Apakah pramusaji tadi tidak tahu arti kata segera? Ah, aku
rasa dia juga salah seorang pemberi harapan palsu yang pintar.
Ketika pikiran
ini masih disibukkan akan berbagai harapan palsu, seseorang sedang berlari
menghindari hujan dan menghampiri tempat teduh. Ia berlari menuju ke arahku. Ia
cukup basah kuyup saat sampai dibawah atap café ini. Ia pun menoleh, tersenyum,
dan mengangguk singkat kepadaku. Deg.
…
Disaat ia
mencoba mengusap-ngusah bajunya yang basah kuyup, aku tahu bahwa saat ini akan
tiba juga. Sudah saatnya aku berbaik hati untuk meminjamkan sapu tangan ini
kepadanya…
---------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar