Nilai… seberapa penting nilai bagi
seorang pelajar? Pertanyaan itu berulang kali terlintas dipikiran saya sejak
berdiskusi dengan beberapa teman tentang IP dan segala keteraturannya yang
membuat kita harus bekerja keras demi mendapat IP yang cumlaude. Pertanyaan itu bertambah jelas saat membaca sebuah
kiriman di salah satu jejaring sosial mengenai perbedaan arti nilai dalam
pendidikan di Indonesia dan di luar
negeri. Apalagi beberapa hari yang lalu dikelas evaluasi pendidikan membahas
tentang nilai akhir.
Karena ini blog saya, jadi saya akan
mengemukakan pendapat saya saja. Nilai menurut saya adalah wujud apresiasi
tentang segala sesuatu yang telah kita perbuat. Nilai itu memberikan kepuasan
terhadap hasil usaha dan kerja keras. Nilai bukan merupakan patokan terpenting
dalam menempuh pendidikan. Misalnya, pada mata kuliah X, kita mendapat nilai A.
Itu artinya semua usaha kita untuk belajar tanpa mengenal lelah mendapatkan
apresiasi tertinggi dalam dunia pendidikan. Tapi kalau usaha kita tiba-tiba
mendapat nilai E?? Weits… jangan sedih..!! Tahukah kalau E itu singkatan dari extraordinary?? Itu artinya usaha kita
mendapat apresiasi luar biasa dari dosen tercinta. Wkwkwk.. nggak ding, maksudnya
apapun bentuk huruf yang nyampe di laporan hasil studi kita itu gak ada artinya
sama sekali. Meskipun memang kalau dapat nilai E artinya kita harus mengulang
mata kuliah itu sekali lagi. (^_^)v Dalam sebuah pendidikan yang terpenting
adalah manfaat yang bisa kita ambil dalam proses pembelajaran. Sehingga manfaat
yang berupa ilmu pengetahuan tersebut bisa kita bagi kepada masyarakat luas
sebagai wujud tanggung jawab terhadap tanah air tercinta (srottt..
*sambilngusapinidung). Apa artinya kamu dapat nilai A dalam matakuliah
tertentu, tapi hasilnya nihil, Cuma nyangkut di otak tapi gak kliatan di
prakteknya??? Tidak peduli seberapa banyak n bagus nilai kamu, tapi kalau kamu
nggak bisa ngasih apapun kepada orang lain, ya…. Useless dong, pergi ke laut aje.
Banyak sekali poin yang diperhitungkan
dalam memasukkan nilai akhir (mengutip materi kuliah evaluasi pendidikan.. kekeke…
kalau gini ketauan dengerin n kliatan seperti mahasiswa yang baik). Beberapa
hal terpenting yang menentukan nilai akhir dua diantaranya adalah prestasi,
usaha, aspek pribadi dan sosial, serta kebiasaan bekerja. Nah, dalam kelas
tersebut muncul pertanyaan dari dosen saya sendiri: apakah kedekatan
mempengaruhi nilai akhir? Kemudian para mahasiswa menjawab dengan lantang dan
tegas: tidak!!! Berulang kali dosen saya menceritakan tentang cerita pahit masa
lalunya (yang saya artikan sebagai bentuk ungkapan kekesalan masa lalu yang tak
tersampaikan), bahwa dulu beliau memiliki dosen yang sangat mudah untuk ‘didekati’
untuk mendapatkan nilai akhir yang bagus, hanya dengan membawakan oleh-oleh berulang
kali. Awalnya saya kira, dosen saya tersebut akan belajar dari pengalamannya
sehingga bisa menjadi obyektif dalam memberi nilai pada mahasiswanya. Tapi setelah
muncul pertanyaan tentang hubungan kedekatan dan nilai akhir membuat saya
berpikir, bukankah kedekatan antara mahasiswa dan dosen itu juga mempengaruhi
seberapa besar pengetahuan dosen akan pribadi mahasiswanya. Tentu saja secara
tidak langsung hal tersebut juga menambah pengetahuan dosen tentang usaha,
aspek pribadi dan sosial, kebiasaan bekerja si mahasiswa tersebut. Apalagi
kalau dosen tersebut harus mengajar ratusan mahasiswa. Nasib kurang beruntung
tentu saja akan menghantui mahasiswa yang tidak pernah ‘pedekate’ dengan
dosennya. Kalau ada pertanyaan sanggahan yang muncul, kan bisa tahu aspek-aspek
tersebut di kelas? Maka akan saya jawab, semua tingkah laku di kelas tidak pernah menggambarkan seberapa
keras usaha dan kebiasaan bekerja dari si mahasiswa itu sendiri. Apa yang terlihat tidak selalu seperti yang
terjadi sebenarnya. Bukankah ratusan kata-kata mutiara yang serupa ‘don’t
judge book by its cover’ sudah tidak asing lagi di telinga. Tidak mungkin dong
untuk mengenal pribadi mahasiswa, si dosen harus mengkonseling atau wawancarai
ratusan mahasiswa atau repot-repot nanya mengenai pribadi si mahasiswa seperti
halnya pas waktu SMA. Cerita diatas salah satu teori aneh dan sinkronisasinya
dengan realitas yang disampaikan oleh salah seorang dosen (saya lebih suka
menyebutnya junk).
Ada sebuah kiriman di sebuah jejaring sosial
yang cukup menggelitik otak kurang kerjaan saya hari ini. Dalam kiriman
tersebut diceritakan bahwa seorang dosen Indonesia yang kurang setuju anaknya
mendapat nilai A dalam pelajaran menulis di sebuah sekolah di luar negeri. Si dosen
beranggapan bahwa anaknya tidak pantas mendapat nilai A, apalagi anaknya baru
saja belajar bahasa inggris, jadi nilai tersebut pastinya tidak sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki si anak yang memang setelah dibaca sendiri oleh sang
dosen kalau tulisan si anak memang jelek. Tapi tahukah sodara-sodara, guru dari
si anak menjawab bahwa nilai merupakan suatu dorongan. Filosofi mendidik adalah
merangsang agar maju, encouragement!.
Si guru menambahkan: “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak
berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa
ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat.
Kerennn!!! //(^o^)\\ stand up applause
buat guru tanpa nama tersebut.
Dari sini kita dapat belajar bahwa nilai sekali
lagi, bukan merupakan ukuran dari semua pengetahuan yang dimiliki seseorang. Nilai
itu adalah dorongan, semangat, dan apresiasi. Akan lebih baik apabila dalam
menuntut ilmu kita tidak berorientasi pada nilai tapi seberapa besar
kemanfaatan yang bisa kita berikan atas nilai itu terhadap orang lain. Catatan yang
paling penting dalam menilai seseorang adalah kita tidak bisa menilai seseorang
dengan ukuran kita jadi wajib untuk jadi SUBYEKTIF dalam hal ini. Hidup
keadilan!! HIDUP!!! \\(>o<)//
Tidak ada komentar:
Posting Komentar