Minggu, 01 April 2012

Apa Arti sebuah Nilai??


          Nilai… seberapa penting nilai bagi seorang pelajar? Pertanyaan itu berulang kali terlintas dipikiran saya sejak berdiskusi dengan beberapa teman tentang IP dan segala keteraturannya yang membuat kita harus bekerja keras demi mendapat IP yang cumlaude. Pertanyaan itu bertambah jelas saat membaca sebuah kiriman di salah satu jejaring sosial mengenai perbedaan arti nilai dalam pendidikan di Indonesia  dan di luar negeri. Apalagi beberapa hari yang lalu dikelas evaluasi pendidikan membahas tentang nilai akhir.

          Karena ini blog saya, jadi saya akan mengemukakan pendapat saya saja. Nilai menurut saya adalah wujud apresiasi tentang segala sesuatu yang telah kita perbuat. Nilai itu memberikan kepuasan terhadap hasil usaha dan kerja keras. Nilai bukan merupakan patokan terpenting dalam menempuh pendidikan. Misalnya, pada mata kuliah X, kita mendapat nilai A. Itu artinya semua usaha kita untuk belajar tanpa mengenal lelah mendapatkan apresiasi tertinggi dalam dunia pendidikan. Tapi kalau usaha kita tiba-tiba mendapat nilai E?? Weits… jangan sedih..!! Tahukah kalau E itu singkatan dari extraordinary?? Itu artinya usaha kita mendapat apresiasi luar biasa dari dosen tercinta. Wkwkwk.. nggak ding, maksudnya apapun bentuk huruf yang nyampe di laporan hasil studi kita itu gak ada artinya sama sekali. Meskipun memang kalau dapat nilai E artinya kita harus mengulang mata kuliah itu sekali lagi. (^_^)v Dalam sebuah pendidikan yang terpenting adalah manfaat yang bisa kita ambil dalam proses pembelajaran. Sehingga manfaat yang berupa ilmu pengetahuan tersebut bisa kita bagi kepada masyarakat luas sebagai wujud tanggung jawab terhadap tanah air tercinta (srottt.. *sambilngusapinidung). Apa artinya kamu dapat nilai A dalam matakuliah tertentu, tapi hasilnya nihil, Cuma nyangkut di otak tapi gak kliatan di prakteknya??? Tidak peduli seberapa banyak n bagus nilai kamu, tapi kalau kamu nggak bisa ngasih apapun kepada orang lain, ya…. Useless dong, pergi ke laut aje.
          Banyak sekali poin yang diperhitungkan dalam memasukkan nilai akhir (mengutip materi kuliah evaluasi pendidikan.. kekeke… kalau gini ketauan dengerin n kliatan seperti mahasiswa yang baik). Beberapa hal terpenting yang menentukan nilai akhir dua diantaranya adalah prestasi, usaha, aspek pribadi dan sosial, serta kebiasaan bekerja. Nah, dalam kelas tersebut muncul pertanyaan dari dosen saya sendiri: apakah kedekatan mempengaruhi nilai akhir? Kemudian para mahasiswa menjawab dengan lantang dan tegas: tidak!!! Berulang kali dosen saya menceritakan tentang cerita pahit masa lalunya (yang saya artikan sebagai bentuk ungkapan kekesalan masa lalu yang tak tersampaikan), bahwa dulu beliau memiliki dosen yang sangat mudah untuk ‘didekati’ untuk mendapatkan nilai akhir yang bagus, hanya dengan membawakan oleh-oleh berulang kali. Awalnya saya kira, dosen saya tersebut akan belajar dari pengalamannya sehingga bisa menjadi obyektif dalam memberi nilai pada mahasiswanya. Tapi setelah muncul pertanyaan tentang hubungan kedekatan dan nilai akhir membuat saya berpikir, bukankah kedekatan antara mahasiswa dan dosen itu juga mempengaruhi seberapa besar pengetahuan dosen akan pribadi mahasiswanya. Tentu saja secara tidak langsung hal tersebut juga menambah pengetahuan dosen tentang usaha, aspek pribadi dan sosial, kebiasaan bekerja si mahasiswa tersebut. Apalagi kalau dosen tersebut harus mengajar ratusan mahasiswa. Nasib kurang beruntung tentu saja akan menghantui mahasiswa yang tidak pernah ‘pedekate’ dengan dosennya. Kalau ada pertanyaan sanggahan yang muncul, kan bisa tahu aspek-aspek tersebut di kelas? Maka akan saya jawab, semua tingkah laku di kelas tidak pernah menggambarkan seberapa keras usaha dan kebiasaan bekerja dari si mahasiswa itu sendiri. Apa yang terlihat tidak selalu seperti yang terjadi sebenarnya. Bukankah ratusan kata-kata mutiara yang serupa ‘don’t judge book by its cover’ sudah tidak asing lagi di telinga. Tidak mungkin dong untuk mengenal pribadi mahasiswa, si dosen harus mengkonseling atau wawancarai ratusan mahasiswa atau repot-repot nanya mengenai pribadi si mahasiswa seperti halnya pas waktu SMA. Cerita diatas salah satu teori aneh dan sinkronisasinya dengan realitas yang disampaikan oleh salah seorang dosen (saya lebih suka menyebutnya junk).
           Ada sebuah kiriman di sebuah jejaring sosial yang cukup menggelitik otak kurang kerjaan saya hari ini. Dalam kiriman tersebut diceritakan bahwa seorang dosen Indonesia yang kurang setuju anaknya mendapat nilai A dalam pelajaran menulis di sebuah sekolah di luar negeri. Si dosen beranggapan bahwa anaknya tidak pantas mendapat nilai A, apalagi anaknya baru saja belajar bahasa inggris, jadi nilai tersebut pastinya tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki si anak yang memang setelah dibaca sendiri oleh sang dosen kalau tulisan si anak memang jelek. Tapi tahukah sodara-sodara, guru dari si anak menjawab bahwa nilai merupakan suatu dorongan. Filosofi mendidik adalah merangsang agar maju, encouragement!. Si guru menambahkan: “Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat. Kerennn!!! //(^o^)\\ stand up applause buat guru tanpa nama tersebut.
Dari sini kita dapat belajar bahwa nilai sekali lagi, bukan merupakan ukuran dari semua pengetahuan yang dimiliki seseorang. Nilai itu adalah dorongan, semangat, dan apresiasi. Akan lebih baik apabila dalam menuntut ilmu kita tidak berorientasi pada nilai tapi seberapa besar kemanfaatan yang bisa kita berikan atas nilai itu terhadap orang lain. Catatan yang paling penting dalam menilai seseorang adalah kita tidak bisa menilai seseorang dengan ukuran kita jadi wajib untuk jadi SUBYEKTIF dalam hal ini. Hidup keadilan!! HIDUP!!! \\(>o<)//


Tidak ada komentar:

Posting Komentar